SPBU Mati, Warga Pulau Wetar Menjerit

 

WETAR, peloporwiratama.co.id – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi momok bagi masyarakat di wilayah Timur Indonesia. Menjelang Hari Raya Idul Fitri, penduduk Lurang Lerokis, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) harus merogoh kocek dalam-dalam untuk sekadar mendapatkan BBM dengan harga fantastis mencapai Rp50.000 hingga Rp70.000 per liter. Kondisi ini menjadi ironi tersendiri di tengah upaya pertamina menjamin distribusi energi yang merata ke seluruh pelosok Tanah Air.

Investigasi pelopor di lapangan menemukan kondisi memprihatinkan yang harus dihadapi warga Pulau Wetar. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Lurang Lerokis yang telah diresmikan tetapi belum beroperasi. “Kami harus membeli bensin eceran dengan harga tiga kali lipat dari harga normal,” ungkap salah satu warga yang tidak mau disebutkan namanya yang ditemui pelopor Sabtu (29/3/2025).

Secara geografis, Maluku Barat Daya merupakan wilayah kepulauan yang sangat membutuhkan pasokan BBM stabil. Keterbatasan akses terhadap energi telah berdampak signifikan pada roda perekonomian lokal. Nelayan tidak bisa melaut, petani kesulitan memasarkan hasil panen, dan mobilitas warga terhambat akibat tingginya biaya transportasi.

“SPBU sudah ada, tapi seperti mati suri. Menang gaya hilang fungsi Kami masih harus bergantung pada penjual eceran dengan harga yang mencekik,” tutur warga tersebut kepada pelopor. Ia menambahkan bahwa kelangkaan ini telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir dan semakin parah menjelang lebaran.

“Kami minta DPRD untuk panggil pihak Pertamina untuk menjelaskan mengapa SPBU yang sudah diresmikan belum berfungsi optimal,” tegasnya. Menurutnya, ada dua tuntutan utama yang disuarakan masyarakat: pertama, penyelesaian permasalahan operasional SPBU Lurang Lerokis dan kedua, memfungsikan SPBU tersebut secara optimal untuk melayani kebutuhan BBM masyarakat Pulau Wetar.

Pertamina sebagai BUMN energi memiliki tanggung jawab untuk memastikan distribusi BBM yang merata ke seluruh wilayah Indonesia. Disparitas harga yang mencapai tiga hingga empat kali lipat dari harga normal menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem distribusi yang perlu segera dibenahi.

Kelangkaan BBM di Pulau Wetar bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga isu keadilan sosial. Masyarakat di wilayah terpencil Indonesia Timur berhak mendapatkan akses energi yang sama dengan wilayah lain di Indonesia.

Jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut, dampaknya akan semakin meluas tidak hanya pada sektor ekonomi tetapi juga pada aspek sosial dan keamanan. Pertamina, perlu bergerak cepat untuk mengatasi permasalahan ini sebelum memicu ketidakpuasan yang lebih luas di masyarakat.

Fenomena kelangkaan BBM di Pulau Wetar bukanlah kasus terisolasi. Ini merupakan potret nyata ketimpangan distribusi energi yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pertamina. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur energi di wilayah barat, wilayah timur Indonesia masih sering terabaikan.

Perlunya kebijakan energi yang lebih inklusif dan memperhatikan karakteristik wilayah kepulauan. “Kebijakan one size fits all tidak tepat diterapkan di Indonesia yang memiliki keragaman geografis. Wilayah kepulauan seperti MBD membutuhkan pendekatan khusus dalam distribusi BBM,” paparnya.

Ketimpangan akses energi ini semakin menguatkan urgensi reformasi tata kelola sektor energi nasional. Tanpa langkah konkret, masyarakat di daerah terpencil seperti Pulau Wetar akan terus menjadi korban ketidakadilan energi. Pertamina sebagai operator utama distribusi BBM nasional dituntut untuk segera mengambil tindakan nyata, bukan sekadar janji-janji kosong yang belum terealisasi.

Saat berita ini ditulis, warga Pulau Wetar masih harus bertahan dengan harga BBM yang mencapai tiga kali lipat harga normal. Sebuah kondisi yang kontras dengan semangat pemerataan pembangunan yang selama ini didengungkan. Kini, bola ada di tangan Pertamina untuk membuktikan komitmen mereka dalam menjamin keadilan energi bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. (PW.19)

Related posts